Kediri, soearatimoer.net – Proses pengisian perangkat desa di Desa Asmorobangun, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, kini tengah menjadi sorotan setelah terungkap dugaan praktik jual beli jabatan yang melibatkan sejumlah pihak. Kasus ini mencuat menyusul adanya laporan bahwa calon pengisi dua posisi penting, yaitu Kepala Seksi Pelayanan dan Kepala Urusan Tata Usaha dan Umum, diharuskan membayar sejumlah uang yang sangat besar, mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah, demi menduduki posisi tersebut.
Terkait dugaan ini, pihak Forum Peserta Ujian Penyaringan Perangkat Desa (FUPPD) Kabupaten Kediri menyampaikan laporan kepada Polda Jawa Timur. Dalam laporannya, ditemukan bukti bahwa sejumlah calon perangkat desa di Desa Asmorobangun diduga diminta untuk mengeluarkan sejumlah uang yang sangat besar, sebagai syarat untuk lolos dalam seleksi. Meski demikian, aparat penegak hukum menegaskan bahwa ini bukanlah praktik pungutan liar (pungli) yang biasa ditemukan di pemerintahan, melainkan merupakan jual beli jabatan.
"Jual beli jabatan di Desa Asmorobangun ini merupakan sebuah bentuk praktik korupsi yang merusak integritas dalam pemerintahan desa. Yang lebih mengkhawatirkan, sejumlah pihak terlibat dalam memuluskan praktik ini dengan meminta uang dalam jumlah yang sangat besar," ujar seorang sumber yang terlibat dalam proses penyidikan kasus ini.
Tindak lanjut terhadap kasus ini mulai dilakukan oleh Polda Jawa Timur, yang saat ini tengah mendalami laporan tentang praktik korupsi yang terjadi dalam pengisian perangkat desa di sejumlah wilayah di Kabupaten Kediri. Pada 22 April 2025, Forum Peserta Ujian Penyaringan Perangkat Desa Kabupaten Kediri (FUPPD) menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dari Ditreskrimsus Subdit III Polda Jawa Timur, yang menyatakan bahwa tim penyidik telah memeriksa lebih dari 600 orang saksi, termasuk melakukan penyitaan barang bukti terkait dugaan manipulasi dalam pengisian jabatan tersebut.
Tindak pidana yang diduga terjadi adalah manipulasi dalam proses seleksi, baik itu melalui kebocoran soal ujian, pengaturan nilai yang tidak transparan, hingga penerimaan suap untuk meloloskan peserta tertentu. Proses ini juga mencakup dugaan kuat bahwa sejumlah pejabat desa memiliki peran dalam memanipulasi hasil seleksi untuk kepentingan pribadi.
Terkait praktik jual beli jabatan ini, Polda Jawa Timur mengindikasikan pelanggaran Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur tentang suap-menyuap dalam proses pengisian jabatan pemerintah. Pasal-pasal ini mengancam hukuman penjara bagi siapa saja yang terlibat dalam praktik suap atau manipulasi dalam jabatan publik.
Debby D. Bagus Purnama, anggota FPUPPD, menegaskan pentingnya pengungkapan tuntas kasus ini tanpa pandang bulu. "Kami berharap penyidikan kasus ini terus berkembang dan tidak hanya melibatkan pihak-pihak kecil saja. Ada dugaan kuat bahwa aktor intelektual di balik praktik ini adalah oknum-oknum yang memiliki pengaruh besar," ujarnya. Ia juga berharap agar penegakan hukum dalam kasus ini dapat memperbaiki citra penegak hukum di mata masyarakat.
Gabriel Goa, Ketua Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (KOMPAK INDONESIA), menambahkan bahwa praktik korupsi di tingkat desa harus diberantas habis. "Jika oknum kepala desa saja sudah terlibat dalam praktik seperti ini, maka seluruh sistem pemerintahan desa akan rusak. Semua dana yang digelontorkan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk desa bisa menjadi mubasir jika tidak dikelola dengan benar," ujarnya.
Polda Jawa Timur juga menyatakan bahwa mereka akan melanjutkan penyidikan dengan memfokuskan pada pelaku yang lebih tinggi dalam struktur hierarki pemerintahan desa. Selain itu, aparat kepolisian telah melakukan penyitaan berbagai barang bukti, termasuk dokumen seleksi, rekaman komunikasi, dan bukti transaksi keuangan yang dapat menunjukkan praktik jual beli jabatan.
Tiga tersangka utama dalam kasus ini, yang telah ditahan oleh Polda Jatim, dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Polisi tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka tambahan, dan seluruh pihak yang terlibat dalam praktik ini akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Masyarakat Kabupaten Kediri kini berharap agar proses hukum berjalan dengan transparan dan adil. Pengungkapan tuntas kasus ini diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah lainnya agar praktik jual beli jabatan di tingkat desa dapat dihilangkan demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Hingga berita ini diterbitkan, penyidik Polda Jatim masih terus mendalami dan mengumpulkan bukti-bukti tambahan untuk melanjutkan proses hukum yang ada.(RED.E)
0 Komentar