Kediri, soearatimoer.net – Kasus gangguan kesehatan mental di kalangan anak usia sekolah di Kediri menunjukkan tren kenaikan yang memprihatinkan. Isu ini juga menjadi perhatian serius Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, seiring semakin banyaknya anak-anak yang mengalami gangguan kecemasan hingga depresi akibat faktor internal dan eksternal.
Menurut Kristika Sadtyaruni, psikolog klinis di RSUD Gambiran Kota Kediri, fenomena ini tidak hanya menyasar anak-anak remaja, tetapi juga sudah terjadi sejak usia taman kanak-kanak (TK) hingga pelajar SMA. Ia menyebutkan, sebagian besar pasien yang datang menunjukkan gejala gangguan kecemasan, seperti menolak berangkat sekolah, mual, muntah, hingga keluhan fisik lainnya menjelang masuk sekolah, khususnya di awal tahun ajaran baru.
“Anak-anak dengan gangguan ini biasanya mengeluh takut masuk sekolah, mengalami sakit perut, bahkan hingga muntah. Ini bentuk reaksi psikologis terhadap tekanan yang dirasakannya,” terang Kristika.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa banyak pula kasus self-harm (menyakiti diri sendiri), kesulitan mengendalikan emosi, serta kecanduan—baik terhadap permainan digital, gawai, konten pornografi, hingga perjudian online. Selama pertengahan tahun 2025 ini saja, Kristika telah menangani puluhan kasus serupa.
“Setiap tahun, kasus yang kami tangani terus meningkat. Bisa jadi karena memang kasusnya bertambah, atau karena kesadaran orang tua dan guru mulai tumbuh untuk membawa anaknya ke layanan psikologis,” tambahnya.
Kristika menjelaskan bahwa pemicu gangguan mental pada anak tidak semata-mata berasal dari kondisi neurobiologis, tetapi juga faktor psikososial, terutama pola pengasuhan. Pola asuh yang cenderung abai (neglect), menurutnya, sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosional anak.
“Orang tua yang tidak terlibat dalam keseharian anak—tidak peduli atau tidak hadir secara emosional—itu sudah masuk kategori pola asuh abai. Ini sangat rentan memicu gangguan psikologis,” jelasnya.
Ia juga menyoroti penggunaan gadget yang tidak terkontrol sebagai faktor risiko yang besar. Anak-anak, menurutnya, kerap terpapar konten yang belum sesuai usia, bahkan terpengaruh secara perilaku dari hal-hal yang mereka lihat.
“Anak-anak cenderung meniru. Kalau yang mereka tonton penuh kekerasan atau konten dewasa, mereka bisa tumbuh jadi pribadi yang agresif, mudah tersulut emosi, bahkan ketagihan dengan stimulus tersebut,” tegasnya.
Kristika mengimbau agar masyarakat, khususnya orang tua dan pihak sekolah, lebih peka terhadap gejala-gejala gangguan mental yang mulai muncul. Menurutnya, banyak anak yang datang ke layanan psikologi sudah dalam kondisi kronis atau kompleks, sehingga penanganannya jauh lebih sulit.
“Sebaiknya dilakukan skrining dini untuk mendeteksi masalah sejak awal. Orang tua bisa membawa anaknya ke psikolog untuk konsultasi, atau pihak sekolah bisa menggagas pemeriksaan psikologis massal sebagai langkah preventif,” pungkasnya.(RED.AL)
0 Komentar