Kediri, soearatimoer.net – Lonjakan harga kedelai impor terus menjadi beban berat bagi produsen tahu di Kediri. Meski kenaikannya terbilang kecil secara nominal, dampaknya terasa signifikan pada keuntungan para pengrajin. Mereka pun mulai menyiasati dengan berbagai cara, dari mengurangi komposisi kedelai hingga menurunkan kualitas produksi.
Awal Januari lalu, harga kedelai impor tercatat Rp 10.274 per kilogram. Namun, hanya dalam waktu tiga bulan, harganya naik menjadi Rp 10.716. Bahkan pada Jumat (2/5) lalu, harga sudah menyentuh Rp 10.300 per kilogram. Naik Rp 700 hanya dalam sepekan.
Agung Wicaksono, produsen tahu asal Desa Winongsari, Kecamatan Gurah, mengaku mulai mengurangi jumlah kedelai saat produksi. “Biasanya delapan kilogram, sekarang jadi 7,5 kilogram. Kalau nanti naik lagi, bisa-bisa saya kurangi lebih banyak,” ujarnya sambil meringis.
Langkah ini ia tempuh karena margin keuntungannya terus tergerus. “Turun sampai 30 persen. Rada ngelu ngaturnya,” tambahnya.
Siasat serupa juga diterapkan Santoso (54), produsen tahu dari Kelurahan Tinalan, Kecamatan Pesantren. Ia tidak bisa menaikkan harga secara mendadak, sehingga lebih memilih mengurangi kualitas. “Jadi tahu agak lentur, tapi konsumen bisa maklum,” jelasnya.
Sejak pandemi, kata Santoso, harga kedelai tak pernah di bawah Rp 9 ribu. Bahkan pernah mencapai Rp 13 ribu. Untuk menjaga bisnis tahu takwanya yang telah berjalan dua dekade, ia tetap memproduksi sekitar 2.500 potong tahu per hari.
Berbeda dengan dua rekannya, Budi Purnomo (46), produsen tahu lain di Tinalan, masih bertahan tanpa banyak penyesuaian. Ia tetap memproduksi tahu dengan komposisi normal meski harga kedelai berfluktuasi. “Kalau turun, kita untung lebih. Kalau naik, ya untungnya menipis,” dalihnya.
Namun Budi juga tak menampik bahwa dia pernah menaikkan harga saat kedelai tembus Rp 12 ribu. “Kami naikkan harga dari Rp 700 jadi Rp 800 per potong, sambil sedikit mengurangi komposisi,” ucapnya.
Meski harga impor terus naik, para produsen tetap enggan beralih ke kedelai lokal. Alasannya, kedelai lokal mengandung banyak kotoran seperti tanah, kulit, hingga kerikil. “Kalau direndam, sampahnya bisa satu bakul sendiri dari 18 kilogram kedelai,” ujar Budi.
Padahal, dari segi rasa, kedelai lokal lebih gurih. Namun selain lebih kotor, harganya juga tidak lebih murah. Hal ini diperparah oleh dominasi kedelai impor sejak era Orde Baru.
Achmad Zainal Fachris, pemerhati sejarah, mengatakan bahwa kebijakan impor kedelai mulai masif sejak masa tersebut. “Pemerintah waktu itu bilang, kedelai lokal tak bisa memenuhi kebutuhan nasional. Sejak itulah industri tahu bergantung pada impor,” tandasnya.
Kini, para produsen tahu di Kediri harus pandai-pandai bertahan di tengah gejolak harga kedelai dunia. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tak mungkin mereka harus melakukan penyesuaian lebih drastis ke depannya.(Red.R)
0 Komentar