Moskow, soearatimoer.net – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memicu ketegangan geopolitik dengan memerintahkan pengerahan dua kapal selam bertenaga nuklir ke wilayah perairan yang dekat dengan perbatasan Rusia. Bukannya menunjukkan kekhawatiran, pihak Moskow justru merespons langkah ini dengan nada tegas dan menyindir balik.
Anggota parlemen Rusia, Viktor Vodolatsky, menyatakan bahwa negaranya saat ini memiliki lebih banyak kapal selam nuklir yang beroperasi di seluruh penjuru samudra dibandingkan dengan Amerika Serikat. Vodolatsky yang menjabat sebagai Wakil Ketua Pertama Komite Duma Negara Urusan Negara-Negara CIS dan Integrasi Eurasia menegaskan bahwa armada bawah laut AS yang dikerahkan sudah berada dalam jangkauan pantauan Rusia sejak lama.
“Kami memiliki jumlah kapal selam bersenjata nuklir yang jauh lebih banyak dan dengan kekuatan senjata yang luar biasa. Biarkan saja dua kapal dari Trump itu berlayar, mereka sudah lama kami kunci targetnya. Tidak perlu memberikan reaksi keras, sebab kami paham betul siapa Donald Trump. Dalam beberapa bulan terakhir, dia seperti berubah pikiran setiap jam,” ujar Vodolatsky, dikutip dari kantor berita pemerintah Rusia, TASS, Minggu (3/8/2025).
Langkah ini diumumkan langsung oleh Trump melalui platform media sosial Truth Social pada hari Jumat, sebagai reaksi terhadap komentar mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia. Dalam unggahannya, Trump menyebut pernyataan Medvedev sangat provokatif dan berpotensi membahayakan stabilitas global.
“Karena pernyataan yang sangat provokatif dari Dmitry Medvedev, saya telah memerintahkan dua kapal selam nuklir untuk dikerahkan ke lokasi strategis. Ini sebagai bentuk kewaspadaan jika ancaman tersebut lebih dari sekadar ucapan. Perkataan bisa mengundang konsekuensi yang fatal,” tulis Trump, tanpa merinci lokasi atau jenis kapal selam yang dikirim.
Di sisi lain, Vodolatsky menilai bahwa akan lebih rasional bagi Amerika Serikat untuk fokus pada upaya diplomasi. Ia menyarankan pembentukan forum negosiasi antara Rusia dan AS serta pertukaran kunjungan antar delegasi guna meredam ketegangan dan mencegah konflik global.
“Yang perlu dilakukan sekarang adalah menyusun perjanjian pokok antara kedua negara agar masyarakat dunia bisa bernapas lega dan tidak lagi dihantui isu pecahnya Perang Dunia Ketiga,” jelasnya.
Ketegangan ini bermula dari unggahan Medvedev di platform X (dulu Twitter) awal pekan ini. Dalam cuitan berbahasa Inggris, ia menyebut bahwa “ultimatum” dari Trump terhadap Rusia adalah langkah yang dapat memicu perang, bukan hanya dengan Ukraina, tetapi langsung antara Rusia dan AS.
“Trump sedang bermain api dengan ultimatum: dari 50 hari menjadi 10 hari untuk gencatan senjata. Dia seharusnya sadar, Rusia bukanlah Israel, apalagi Iran. Setiap ancaman baru hanyalah mendekatkan pada konfrontasi berskala penuh,” tulis Medvedev, sembari menyindir Trump agar tidak seperti 'Sleepy Joe' — julukan untuk Joe Biden.
Tak berhenti di situ, Medvedev juga membalas sindiran Trump terkait ekonomi Rusia dengan peringatan mengerikan. “Bicara soal ekonomi mati dan zona bahaya? Ingat saja sistem 'Dead Hand' Rusia — sistem serangan nuklir otomatis yang legendaris. Itu bukan hal yang bisa disepelekan,” ujarnya.
Polemik antara dua negara berkekuatan nuklir ini menjadi perhatian dunia internasional, dengan banyak pihak menyerukan de-eskalasi dan kembali ke jalur diplomasi demi menghindari konflik bersenjata global.(red.al)
0 Komentar