PHRI Kediri Raya Minta Aturan Royalti Musik Dikaji Ulang: Pelaku Usaha Kecil Merasa Tertekan

 



Kediri,   soearatimoer.net – Aturan terkait pembayaran royalti atas pemutaran musik di tempat usaha seperti restoran, kafe, hingga hotel, menuai kekhawatiran di kalangan pelaku usaha. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kediri Raya turut menyuarakan kegelisahan ini, menyebut kebijakan tersebut berpotensi menyulitkan para pelaku usaha, terutama skala kecil dan menengah.

Isu royalti kembali mencuat setelah salah satu gerai Mie Gacoan di Bali tersandung kasus dugaan pelanggaran hak cipta, yang berujung pada penetapan tersangka. Hal itu memicu keresahan di antara pengusaha kuliner dan perhotelan di berbagai daerah, termasuk di Kediri.

"Aturan seperti ini sering kali tidak tersampaikan secara menyeluruh ke daerah. Tiba-tiba muncul tindakan yang membuat pelaku usaha jadi resah, khususnya sektor kafe, restoran, hingga minimarket yang memutar musik sebagai penunjang suasana,” ujar Ketua PHRI Kediri Raya, Sri Rahayu Titik Nuryati, Selasa (5/8/2025).

Wanita yang akrab disapa Yayuk itu mengatakan, pihaknya berencana mengadakan sosialisasi bagi pemilik restoran dan hotel agar memahami regulasi royalti yang berlaku. Ia menyoroti bahwa masih banyak pengusaha yang belum mengetahui detail aturan tersebut.

Lebih jauh, Yayuk menyebut sistem perhitungan royalti berdasarkan jumlah tempat duduk dinilai tidak adil. Ia menilai pendekatan ini tidak mempertimbangkan skala dan kondisi usaha.

“Setahu saya, untuk restoran dihitung per kursi, yakni Rp120.000 per tahun. Kalau jumlah kursinya banyak, ya bisa kaget juga,” katanya.

Akibat ketidakjelasan dan kekhawatiran akan sanksi hukum, sejumlah pelaku usaha di Kediri mulai menghentikan pemutaran lagu-lagu komersial, khususnya musik dari label besar. Ada pula yang mengganti dengan suara alam seperti kicauan burung atau gending tradisional.

“Saya dengar bahkan ada minimarket yang sekarang memutar suara burung sebagai pengganti lagu. Dulu pakai gending Jawa, tapi katanya bikin ngantuk di pagi hari, jadi diganti,” ujar Yayuk.

PHRI Kediri Raya berharap agar pemerintah dapat melakukan evaluasi terhadap regulasi ini, khususnya dalam hal penetapan tarif. Yayuk menyarankan agar mekanisme pembayaran disesuaikan dengan kapasitas usaha, bukan semata-mata jumlah kursi.

“Kalau dihitung dari omzet atau kategori usaha, mungkin masih bisa diterima. Tapi kalau tarifnya dipukul rata berdasarkan kursi, pengusaha kecil bisa sangat terbebani,” tegasnya.

Senada dengan Yayuk, Andi (30), pemilik salah satu kafe di Kota Kediri, juga menyampaikan keresahannya. Ia mengaku masih memutar musik dari platform seperti YouTube Music, baik lagu lokal maupun internasional.

“Saya sudah lihat kasusnya ramai di media sosial. Jujur, kami pelaku usaha kecil merasa waswas juga. Apalagi denda atau sanksinya bisa memberatkan,” ujar Andi.

Ia menambahkan, bila kewajiban royalti benar-benar diterapkan tanpa mempertimbangkan skala usaha, banyak pelaku bisnis kecil yang tidak sanggup mengikuti aturan tersebut.

“Dengan tarif per kursi seperti itu, jelas memberatkan kami yang usahanya masih skala kecil,” tutupnya.(red.al)

Posting Komentar

0 Komentar