Jakarta,soearatimoer.net
- Usulan penambahan
masa jabatan kepala desa dari 6 menjadi 9 tahun menyita perhatian
publik. Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun
berpendapat, jika masa jabatan kades diperpanjang bakal menimbulkan kerugian lantaran
tidak ada regenerasi kepemimpinan.
"Jika 9 tahun yang mendapat
keuntungan hanya kepala Desanya. Sementara rakyat di Desa rugi. Sebab
regenerasi kepemimpinan di Desa akan sangat lambat," kata Ubedilah lewat
pesan tertulis, Jumat (20/1/2023).
Menurutnya, anak- anak muda di
desa yang punya visi besar membangun desa akan terhambat menjadi kades. Setidaknya,
lama menunggu giliran menjadi kepala desa.
"Apalagi jika kepala desa
incumbent terpilih lagi selama tiga kali pemilihan jadi bisa 27 tahun jadi
kepala desa. Nah generasi muda kehilangan kesempatan minimal 9 tahun,"
ujarnya.
Akhirnya, kata Ubedilah, desa
terus menerus dipimpin generasi tua maka energi perubahannya rendah, bahkan
semakin hilang.
"Akhirnya rakyat di desa
yang dirugikan karena minimnya gagasan-gagasan baru," ucapnya.
Ubedilah menilai, 6 tahun adalah
waktu yang sangat cukup untuk melaksanakan program-program desa. Termasuk untuk
mengatasi keterbelahan sosial akibat pilkades.
"Juga waktu yang sangat lama
untuk untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk yang rata-rata hanya puluhan
ribu," kata dia.
Menurutnya, masalah utamanya
bukan soal kurangnya waktu masa jabatan, melainkan minimnya kemampuan
kepemimpinan kades untuk melaksanakan pembangunan desa. Selain itu, minimnya
kemampuan kepala desa untuk mengatasi masalah keterbelahan sosial pasca
pilkades.
"Itu masalah substansinya.
Jadi diperpanjang 9 tahun pun jika masalah substansinya tidak diatasi maka
Kepala Desa tidak akan mampu jalankan program programnya dengan baik termasuk
tidak mampu atasi problem keterbelahan sosial itu. Jadi solusinya bukan
perpanjang masa jabatan," tuturnya.
Ubedilah juga menepis alasan bila
dana pilkades lebih baik diperuntukkan untuk pembangunan. Menurutnya, dana
pilkades sudah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya. Dana
itu juga tidak menguras APBN dan tak mengganggu uang negara seperti pembangunan
kereta cepat dan pembangunan IKN.
"Sebab angka dana pilkades
itu seluruh Indonesia saya hitung totalnya tidak sampe Rp 50 triliun, itupun
pilkades tidak dilakukan serentak, masing-masing daerah berbeda-beda waktunya
sehingga dananya tidak dubutuhkan dalam waktu yang sama," jelasnya.
Dia berkata, argumen perpanjangan
masa jabatan kepala desa lemah dan merusak demokrasi. Sebab, jabatan publik
yang dipilih rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari
kecenderungan otoriter dan korupsi.
"Bayangkan 6 tahun saja
sudah ada 686 kepala desa tersangka korupsi, apalagi 9 tahun," ujarnya.
Dia melanjutkan, menurut pasal 39
UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan, Kepala Desa dapat ikut pilkades selama
tiga periode berturut - turut atau tidak berturut-turut. Bila 9 tahun, berarti
kepala desa bisa menjabat sampai 27 tahun.
"Jadi kekuasaan yang terlalu
lama itu cenderung absolut dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Jabatan 9
tahun hingga berpeluang 27 tahun terlalu lama dan berpotensi besar menjadi
absolut," ucapnya.
Kata
Mendes-PDTT
Sementara, Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengatakan,
masa jabatan kepala desa sembilan tahun akan menguntungkan masyarakat. Saat
ini, masa jabatan kepala desa selama enam tahun.
"Yang diuntungkan dengan
kondisi ini adalah warga masyarakat," katanya melalui keterangan tertulis
yang dikutip Jumat (20/1).
Selain itu, perpanjangan masa
jabatan kepala desa bisa menekan konflik akibat pemilihan kepala desa
(Pilkades). Menurut menteri yang akrab disapa Gus Halim ini, fakta konflik
polarisasi usai Pilkades nyaris terjadi di seluruh desa.
Akibatnya pembangunan akan
tersendat dan beragam aktivitas di desa juga terbengkalai.
“Artinya apa yang dirasakan
kepala desa sudah saya rasakan bahkan sebelum saya jadi Ketua DPRD. Saya
mengikuti tahapan politik di Pilkades. Saya mencermati bagaimana kampanye yang
waktu itu,” ujarnya.
Dia menyebut, para pakar juga
setuju ketegangan konflik akibat Pilkades lebih mudah diredam jika masa jabatan
kepala desa ditambah. Halim mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir bila
kinerja kepala desa buruk.
Sebab, pemerintah melalui
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) punya kewenangan memberhentikan kepala
desa yang berkinerja sangat buruk. Dengan begitu, warga tidak perlu menunggu
selama sembilan tahun untuk mengganti kepala desa yang kinerjanya buruk.
“Ada mekanisme bahwa Menteri
Dalam Negeri atas nama Presiden itu berhak memberhentikan Bupati atau Wali Kota
ketika kinerjanya sangat buruk. Nah, kalau Bupati dan Wali Kota saja bisa
diberhentikan di tengah jalan apalagi Kepala Desa,” ujarnya.
Usulan penambahan masa jabatan
kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun dalam satu periode disampaikan
pertama kali oleh Halim saat bertemu para pakar ilmu di UGM Yogyakarta pada Mei
2022. Meskipun formulasi berubah namun batas maksimal jabatan kepala desa tetap
sampai 18 tahun.
Saat ini, usulan tersebut sedang
digodok dan menjadi rekomendasi atas perubahan UU Desa yang berusia sembilan
tahun. Halim memastikan akan terus mendukung usulan masa jabatan kepala menjadi
sembilan tahun meskipun dengan proses yang panjang.
0 Komentar