Kediri, soearatimoer.net - Fenomena calon tunggal sangat terkait dengan dinasti politik,begitu juga yg terjadi di kabupaten kediri,yang membuat “demokrasi” terpusat pada jaringan politik keluarga.
Seperti yang terjadi di Pilkada tahun 2019 calon
tunggal,bertarung melawan kotak kosong atau bumbung kosong,sehingga Terdapat
tren peningkatan calon tunggal dari waktu ke waktu.
Informasi yang didapat awak media ini Pada pilkada 2015,hanya
ada 3 calon tunggal,lalu naik menjadi 9 daerah pada 2017,selanjutnya menjadi
16 pada 2018, dan 25 daerah pada 2020. Data sirekap KPU 2020 menunjukkan
24 dari 25 calon tunggal menang sesuai fakta..
Dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi ini,strategi
calon tunggal besar,kemungkinan akan semakin banyak digunakan dalam ajang
pilkada di masa mendatang,ini akan tidak baik ke depannya.
Calon tunggal dapat terjadi karena dua faktor, pertama
karena profil yang populer sehingga calon lain merasa peluangnya untuk menang
dalam pertarungan menjadi rendah.
Calon populer ini biasanya petahanan yang sukses membangun
daerahnya.Akhirnya tidak ada calon lain yang siap maju.
Kedua, faktor kesengajaan dengan memborong pengusung maupun pendukung dari
partai politik sehingga menutup peluang calon lain maju dari jalur partai
politik..Tragis..
Di sisi lain,untuk maju dari jalur independen pun juga cukup
berat karena adanya persyaratan dukungan antara 6,5-10 persen dari jumlah
pemilih/DPT.
Fenomena calon tunggal yang diduga dengan sengaja direkayasa
berpotensi mengurangi kualitas bahkan mematikan demokrasi,rakyat diminta
terkesan dipaksa untuk memilih calon yang ada atau kotak kosong (Bumbung
Kosong),faktanya.
Dalam mekanisme seperti ini, seolah-olah rakyat memiliki
pilihan, tetapi sesungguhnya pilihan yang ada bersifat semu karena calon yang
disodorkan merupakan hasil rekayasa belaka.
Kekhawatiran dan kejadian tersebut diungkapkan sudah sejak
lama sebenarnya dan di ungkapkan sekarang oleh Gus Badas salah satu tokoh
masyarakat dan Pengamat Politik di Kabupaten Kediri.(Dengan Wajah Sedih).
Gus Fuad Badas(Gus Badas), mengatakan Calon yang ada belum
tentu figur yang memenuhi kualifikasi sebagai pemimpin dan hanya mengandalkan
dinasti dengan sangat mudahnya,apalagi dengan kampanye masif, maka kemenangan
sangat mudah diraih.,ungkapnya.
Fenomena calon tunggal sangat terkait dengan dinasti
politik, yaitu praktik politik dengan cara menguasai jabatan politik yg
diaplikasikan kepada relasi2 sebagian besar..juga keluarga dan kerabat dekat,itupun
cuma segelintir..ungkap Gus Fuad Badas.
Politik dinasti sangat terkait dengan dinasti partai di mana
partai-partai tertentu dikuasai oleh keluarga. Dari situlah,elit partai politik
bermain dengan menentukan calon-calon yang akan menduduki jabatan politik,dari
skala terkecil bupati,walikota, gubernur sampai dengan anggota parlemen,di
tambah money politik,yang faktanya Bullshit ungkap Gus Badas.
Dalam situasi seperti ini, maka kader partai yang sudah
mengabdi puluhan tahun dan tidak memiliki modal finansial sulit untuk
mendapatkan rekomendasi dan dukungan partai,tokoh masyarakat yang tidak
berpartai,lebih kecil lagi peluangnya untuk menjadi pemimpin.
Dalam pilkada ditahun 2020 yang lalu,di sejumlah daerah yg
sejumlah calon tunggal yang memiliki koneksi politik merupakan anak muda yang
sama sekali belum memiliki pengalaman politik akan tetapi dipaksakan..Ungkap
Gus Fuad Badas.(Dengan Nada Lemah).
Jadi Pemimpin (bukan Pemimpi) yg Memimpin sebuah daerah
bukanlah tempat untuk sekedar coba-coba atau tahap belajar karena menyangkut
nasib ratusan ribu,bahkan jutaan rakyat…ingat Sabda Nabi “Kullukum Ro’in Wa
Kullukum Mas’ulun ‘anroiyatih”…ungkap Beliau..
Dinasti politik menyebabkan sulitnya mekanisme dalam
pengkontrolan pemerintahan,jika dalam satu keluarga besar ada yang menjadi
bupati atau walikota sementara kerabatnya menjadi anggota DPRD,maka sulit untuk
mengharapkan anggota DPRD tersebut bersikap kritis terhadap pemerintahan yang
dijalankan oleh keluarganya,itu faktanya Ungkapnya(Gus Badas) Atau ketika pemimpin
daerah terpilih memiliki koneksi dengan orang kuat di pusat kekuasaan di
Jakarta, maka DPRD akan segan takut untuk melakukan kontrol dengan baik karena
bagaimanapun juga, kebijakan partai di tingkat daerah akan mengikuti perintah
pusat ujarnya…
Gus Fuad Badas menambahkan Politik dinasti sebagai salah
satu penyebab maraknya calon tunggal pernah diatur dalam UU No 8 Tahun 2015
tentang Pilkada yang melarang adanya hubungan kekerabatan dengan petahana belum
lagi di tambah politik money…Maka Lebih baik UU Larangan Politik money juga
hapus saja,biar TDK Ambigu…ungkapnya.
Namun demikian,mahkamah Konstitusi pun seharusnya
membatalkan ketentuan tersebut karena melanggar hak konstitusi juga yaitu hak
untuk dipilih.Pelarangan ini menimbulkan diskriminasi karena adanya perbedaan
perlakuan akibat kelahiran dan kekerabatan.
Upaya mengatur cengkeraman politik dinasti perlu terus
diupayakan,namun tentunya dalam bentuk UU yang tidak melanggar atau
bertentangan dengan UU diatasnya atau hak lainnya…red Gus Badas.
Misalnya dengan menerapkan aturan minimal 60 atau 70 persen
kemenangan sebagai syarat minimal terpilih. Umumnya, calon populer yang
biasanya merupakan petahana yang berhasil membangun daerahnya akan mendapatkan
dukungan yang tinggi, bisa 80-90 persen.
Namun untuk calon-calon tunggal hasil rekayasa, lebih sulit
untuk mendapat dukungan yang tinggi karena sebagian dari mereka bahkan belum
mengenal dunia politik jika batasannya hanya 50 persen plus satu suara, hal
tersebut sangat mudah dicapai..
Hal lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan literasi
politik.Dalam masyarakat yang memiliki literasi politik yang rendah, mereka
mudah dimanipulasi dengan ketokohan dari pemimpin dinasti seolah-olah anggota
keluarga lain memiliki kualifikasi yang sama.
Masyarakat perlu didorong untuk memperhatikan kapasitas
pribadi seorang calon pada daerah-daerah yang cukup maju di mana literasi
politik lebih tinggi, dinamika politik lebih hidup sehingga upaya untuk
memunculkan calon tunggal lebih kecil peluangnya.
Demokrasi merupakan proses pencarian pemimpin terbaik.
Jangan sampai kita sebagai rakyat lengah terhadap upaya manipulasi
proses-proses perekrutan pemimpin tersebut karena rakyat juga yang akhirnya
menanggung akibatnya.
Saya sangat malu dengan fenomena Pilbup tahun 2020 yang lalu,apakah
ditahun 2024 sama dengan tahun 2029 tidak ada yang berani maju di Pilbup
mendatang,atau kah Rekom partai diborong salah satu cabup terutama di
kab.kediri sehingga jadi faktor pemicu matinya demokrasi dikediri tercinta ini…
Perhatikan itu!!!
Apakah Foto Bacalon Bupati Kediri yang dipasang
dipinggir-pinggir jalan hanyalah Lelucon saja, karena ini sudah proses
pendaftaran sudah mulai, akan tetapi belum ada yang muncul harus ada perubahan
di Kabupaten Kediri dengan hidupnya demokrasi tegasnya.(Red.Al).
0 Komentar