Cangkul Keadilan Tumpul di Tiru Lor: Tanah Desa Ditaburi Uang Haram?


Kediri,  soearatimoer.net – Proses pengisian perangkat desa di Desa Tiru Lor, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, tengah menjadi sorotan masyarakat. Pasalnya, diduga kuat terdapat praktik pungutan liar (pungli) dalam pengisian tiga posisi perangkat desa, yakni Kepala Seksi Kesejahteraan, Kepala Dusun Sentul Timur, dan Kepala Dusun Sentul Barat. Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan bahwa untuk dapat menduduki jabatan tersebut, para calon perangkat harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang fantastis, mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.

Pengisian jabatan perangkat desa sejatinya dilakukan melalui mekanisme yang telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Namun, dugaan praktik jual beli jabatan ini mengindikasikan bahwa proses tersebut telah disalahgunakan oleh oknum tertentu demi kepentingan pribadi atau kelompok. Salah satu narasumber yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa calon perangkat yang lulus seleksi sebelumnya telah diminta menyetorkan uang kepada pihak tertentu sebagai bentuk “pengamanan posisi”.

“Kalau tidak setor, ya jelas tidak bakal diluluskan. Uangnya bisa sampai 100 juta tergantung jabatannya,” ujar salah satu warga yang mengaku mengetahui praktik tersebut.

Praktik pungutan liar semacam ini jelas melanggar hukum dan dapat dijerat dengan sejumlah pasal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran, dapat dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Selain itu, pelaku juga dapat dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal 29 huruf d dan e disebutkan bahwa kepala desa dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dilarang menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya. Jika terbukti melanggar, kepala desa dan aparat desa dapat dikenakan sanksi administratif, pidana, maupun pemberhentian dari jabatan.

Camat Gurah, saat dikonfirmasi mengenai isu ini, menyatakan bahwa pihak kecamatan masih menunggu laporan resmi dari masyarakat ataupun pihak terkait untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut. “Kami terbuka menerima laporan dan akan berkoordinasi dengan inspektorat daerah serta aparat penegak hukum jika ditemukan indikasi penyimpangan,” ujar Camat Gurah.

Sementara itu, LSM dan tokoh masyarakat setempat mendorong agar proses seleksi perangkat desa dilakukan secara transparan dan akuntabel, demi menjaga integritas pemerintahan desa dan kepercayaan publik. Mereka juga meminta agar aparat penegak hukum turun tangan menyelidiki kasus ini, mengingat dampak dari praktik semacam ini sangat merugikan masyarakat dan menciderai demokrasi di tingkat desa.

“Kita tidak boleh membiarkan desa dikuasai oleh mereka yang memperoleh jabatan dengan cara curang. Bagaimana mungkin bisa melayani masyarakat dengan baik jika sejak awal mereka sudah melakukan pelanggaran hukum?” ujar seorang aktivis antikorupsi.

Kasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan instansi terkait untuk memperketat pengawasan serta membenahi sistem rekrutmen perangkat desa, agar tidak lagi menjadi ajang transaksi politik dan uang. Masyarakat berharap aparat penegak hukum segera bertindak tegas demi menegakkan keadilan dan memberantas praktik-praktik korup yang merusak sendi pemerintahan desa.(RED.R)

Posting Komentar

0 Komentar