Kediri, soearatimoer.net – Desa Donganti, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, kini menjadi sorotan setelah muncul dua dugaan kasus serius yang mencoreng tata kelola pemerintahan desa. Selain dugaan penyimpangan penggunaan Bantuan Keuangan Khusus (BK) Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2024, Desa Donganti juga dihadapkan pada dugaan praktik jual beli jabatan dalam proses pengisian perangkat desa.
Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa Pemerintah Desa Donganti melakukan pengisian perangkat desa untuk dua posisi, yakni Kepala Urusan Perencanaan dan Kepala Seksi Kesejahteraan dan Pelayanan. Proses seleksi ini diduga tidak berjalan murni, karena calon perangkat desa disinyalir harus menyerahkan sejumlah uang sebagai syarat kelulusan. Besaran uang yang diminta disebutkan mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Jika praktik ini benar terjadi, maka perbuatan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 e, yang mengancam pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar bagi setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji berkaitan dengan jabatan.
Selain dugaan jual beli jabatan, Desa Donganti juga diselimuti dugaan penyimpangan dalam penggunaan dana BK Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 150.000.000,-. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan desa, diduga dialihkan untuk pembangunan pagar makam desa yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Ketua Umum Organisasi Kemasyarakatan Pejuang Gerakan Masyarakat Arus Bawah Nusantara (Gemah Nusantara), B. Soesilo, menegaskan bahwa penggunaan dana desa harus berlandaskan regulasi yang berlaku. Ia menyatakan bahwa pihaknya akan bersurat kepada instansi terkait agar persoalan ini segera diusut tuntas sebagai bentuk penegakan aturan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, setiap proyek pembangunan desa wajib melibatkan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Namun, di Desa Donganti, pembangunan pagar makam diduga diserahkan kepada pihak ketiga melalui mekanisme kontrak, padahal seharusnya menggunakan metode swakelola. Hal ini bertentangan pula dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang mewajibkan anggaran di bawah Rp 200 juta dikelola secara swakelola tanpa kontrak kepada pihak ketiga.
Rangkaian dugaan pelanggaran tersebut mencakup pelanggaran Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 13 Tahun 2020 karena tidak membentuk TPK dalam pelaksanaan pembangunan, pelanggaran Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 karena menyerahkan proyek kepada pihak ketiga pada anggaran yang seharusnya diswakelola, serta dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas penyalahgunaan wewenang dan potensi korupsi dalam pengisian jabatan serta penggunaan dana desa.
Masyarakat Desa Donganti kini mendesak agar pihak berwenang segera melakukan penyelidikan yang akuntabel dan transparan terhadap seluruh dugaan tersebut. Jika terbukti, warga menuntut agar tindakan hukum tegas segera diambil terhadap pihak-pihak yang terlibat. Selain itu, mereka meminta agar dana yang digunakan tidak sesuai ketentuan segera dikembalikan ke kas desa. Masyarakat juga mendorong adanya peningkatan partisipasi warga dalam seluruh proses perencanaan dan pengawasan penggunaan anggaran desa untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Dengan mencuatnya kasus ini, masyarakat berharap agar Inspektorat Kabupaten Kediri, Kejaksaan Negeri Kediri, serta Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) segera turun tangan melakukan audit investigasi guna memastikan transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum di Desa Donganti, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri.(Red.w)
0 Komentar