KPAI Soroti Program Pembinaan Siswa di Barak Militer, Warganet Justru Dukung Langkah Gubernur Jabar

  


KEDIRI, soearatimoer.net  – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti program pembinaan siswa bermasalah yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dalam konferensi pers daring yang digelar Jumat (16/5), KPAI mengungkap sejumlah temuan yang dinilai perlu menjadi bahan evaluasi terhadap pelaksanaan program pembinaan karakter berbasis militer tersebut.

Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, menyampaikan bahwa program yang dilaksanakan di beberapa markas militer, seperti Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III/Siliwangi Bandung dan Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha di Purwakarta, memang ditujukan bagi siswa yang terlibat dalam pelanggaran kedisiplinan. Pelanggaran itu antara lain terlibat tawuran, kebiasaan merokok, hingga bolos saat jam pelajaran berlangsung.

Namun, hasil wawancara KPAI dengan para siswa peserta program tersebut menunjukkan adanya indikasi kurangnya transparansi dalam proses seleksi peserta.

"Sebanyak 6,7 persen siswa menyatakan tidak mengetahui alasan mereka mengikuti program. Mereka mengaku tidak diberi penjelasan sebelumnya mengapa harus mengikuti pembinaan," ungkap Jasra.

Selain itu, KPAI juga mencatat bahwa seluruh siswa yang mengikuti program tersebut masih tercatat aktif dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Hal ini, menurut Jasra, mengindikasikan pentingnya evaluasi terhadap sasaran program agar pembinaan dapat lebih tepat guna dan tidak berdampak negatif pada perkembangan psikologis anak.

Respons Masyarakat: Mayoritas Dukung Kebijakan Gubernur

Di sisi lain, tanggapan warganet terhadap kritik KPAI justru beragam. Banyak yang menilai langkah Gubernur Dedi Mulyadi sudah tepat dalam menangani persoalan kenakalan remaja yang kian marak di Jawa Barat.

Menurut sebagian besar warganet, kehadiran pembinaan berkarakter di lingkungan militer dianggap mampu menanamkan kedisiplinan dan tanggung jawab kepada siswa yang melanggar aturan sekolah.

“Dari 6,7 persen siswa yang tidak tahu alasan mereka dibina, berarti ada 93,3 persen siswa yang paham dan sadar mengapa mereka harus mengikuti pembinaan ini. Bukankah itu cukup membuktikan efektivitas dan keterarahannya?” tulis seorang warganet dalam unggahan yang ramai dibagikan di media sosial.

Mereka juga meminta agar KPAI, sebagai lembaga negara, tidak hanya mengkritik tapi juga memberikan solusi yang konstruktif terhadap masalah kenakalan remaja yang semakin kompleks.

“Kalau tidak setuju dengan pembinaan ala militer, lantas apa alternatif yang ditawarkan? Jangan hanya menyoroti kelemahan, tapi beri solusi yang konkret,” tulis akun lainnya.

Perlu Dialog dan Evaluasi Bersama

KPAI menegaskan bahwa kritik yang disampaikan bukan untuk menyalahkan kebijakan sepihak, melainkan sebagai bagian dari pengawasan dan perlindungan terhadap hak anak. Jasra menyebut, penting adanya dialog terbuka antara pemerintah daerah, pihak sekolah, orang tua, dan lembaga perlindungan anak dalam merancang pendekatan terbaik yang mendidik tanpa melanggar hak-hak peserta didik.

“Pembinaan karakter sangat penting, namun pendekatannya harus tepat dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan anak. Itu yang ingin kami tekankan,” pungkasnya.

Kini, publik menanti apakah Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan merespons evaluasi KPAI dengan penyempurnaan sistem atau justru mempertahankan metode yang ada. Yang jelas, isu ini membuka diskusi luas tentang metode pendidikan karakter yang efektif di tengah tantangan zaman.(red.al)

Posting Komentar

0 Komentar