Jakarta,soearatimoer.net -- Indonesia mendapatkan kuota haji sebanyak 221 ribu untuk tahun ini. Jumlah ini menjadi angka tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain bahkan seperti Malaysia.Negeri Jiran itu hanya mendapatkan kuota 31.600 jemaah setiap tahunnya. Secara persentase, Indonesia mendapatkan kuota sekitar 12 persen dari total seluruh jemaah haji.Selama ini, dengan peminat haji yang berlimpah namun kuota terbatas, pemerintah harus menetapkan daftar tunggu jemaah haji. Para calon jemaah diminta untuk memberikan setoran awal sekitar Rp25 juta.Mengutip dari buku Apa dan Bagaimana Investasi Keuangan Haji BPKH, pada 2017 saja calon jemaah yang telah membayar setoran awal terdapat 4,2 juta orang.Hingga akhir 2017, dana setoran awal yang dikumpulkan ini dikelola oleh Kementerian Agama. Artinya, Kemenag tidak hanya mengatur perjalanan haji namun juga pengelolaan dana milik jemaah.Namun, sejak keluarnya Peraturan Presiden Nomor 110 tahun 2017 mengenai Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dibentuklah badan hukum publik yang mengelola dana haji. Badan itu bertanggung jawab pada presiden melalui menteri.BPKH resmi mengelola dana haji di Indonesia sejak awal 2018. Hingga Maret 2018, total dana haji yang dikelola BPKH sebesar Rp105,18 triliun.Dana haji itu kemudian diinvestasikan pada perbankan syariah sekitar 65 persen dan sisanya di Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI). Namun, seiring perkembangan waktu, per 2022, nyaris 70 persen dari total dana haji diletakkan pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), sedangkan sisanya di deposito perbankan syariah.Tak hanya Indonesia yang memiliki lembaga pengelola dana haji, namun juga Malaysia, Pakistan, Maladewa, dan India. Di Malaysia lembaga itu disebut Lembaga Tabungan Haji (LTH).Sementara di Pakistan, dana haji dikelola oleh Mora dan Hajj Group Operator, di India dikelola Hajj Committee of India dan Private Tour Operator, dan di Maladewa dikelola oleh Maldives Hajj Cooperation Ltd dan Private Hajj Tour.Dibandingkan dengan BPKH, berbagai lembaga di negara-negara tersebut telah berdiri jauh lebih lama. Bahkan, LTH di Malaysia telah berdiri sejak 1963 dan tidak hanya mengelola dana haji, namun juga bertugas untuk melakukan manajemen haji.Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Budi Prasetyo mengungkapkan dana yang terkumpul pada LTH ini dikelola dengan berbagai bentuk investasi ke instrumen keuangan syariah. Berdasarkan data LTH, 53 persen investasi dialokasikan pada instrumen berbasis ekuitas, 27 persen pada sekuritas berpendapatan tetap, 15 persen pada properti, dan 5 persen sisanya dalam bentuk kas."Dengan skema ini, LTH strukturnya cukup kompleks. Dia punya subsidiaries di keuangan syariah, properti, hospitalities, perladangan, dan lain sebagainya. Ini karena usia yang sudah cukup lama dan total pendaftar yang dikelola sekitar 9 juta (orang), sementara Indonesia sekitar 5,1 juta," kata Budi dalam webinar, Jumat (27/1) pekan lalu.Dari strategi alokasi aset tersebut, LTH berhasil meraup pendapatan (revenue) yang bersumber dari equity-trading (25 persen), dividen (23 persen), pendapatan tetap (24 persen), financing (1 persen), rental (12 persen), dan pendapatan dari instrumen pasar uang (15 persen).Pendapatan ini lah yang memberikan manfaat besar bagi jemaah haji di Malaysia.
Menurut Budi, diversifikasi investasi yang dilakukan LTH ini sulit dilakukan oleh BPKH. Sebab, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5/2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, diversifikasi investasi yang bisa dilakukan cukup terbatas.Secara rinci, aturan itu menyebutkan 5 persen dari total investasi dilakukan dalam bentuk emas, 20 persen dalam bentuk investasi langsung, 10 persen investasi keuangan haji, dan SBS tanpa batasan maksimum. Dengan pilihan yang ada, rata-rata yield (imbal hasil) yang didapatkan oleh BPKH adalah 6,2 persen.Menurut Budi, alternatif investasi itu lebih dimiliki oleh LTH. Misalnya, sekitar tahun 1983 ketika Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) baru didirikan, LTH yang berusia 20 tahun menjadi salah satu investor utamanya.Sementara, untuk implementasi pengelolaan dana haji juga terdapat perbedaan antara LTH dengan Kementerian Agama dan BPKH. Misalnya, ketika biaya haji di Malaysia pada 2019 sebesar 9.880 ringgit, kenaikan juga terjadi pada 2022 menjadi 12.980 ringgit. Namun, LTH membagi calon jemaahnya dengan kelompok B40 dan non-B40 berdasarkan kondisi ekonomi."Kelompok yang 40 persen ke bawah lebih murah (biaya hajinya), selain (B40) itu dapat lebih mahal. Masalah biaya ini juga jadi problem yang dihadapi berbagai pengelola dana haji di berbagai negara," ucap Budi.Sementara itu Anggota Badan Pelaksana Bidang Kesekretariatan Badan dan Kemaslahatan BPKH Amri Yusuf mengungkapkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang mengatur investasi sangat rigid.Ia memaklumi kerigidan itu. Pasalnya, dana haji merupakan dana publik."Ini kan dana titipan orang banyak, sehingga harus hati-hati. Kita punya pengalaman dana publik yang dikelola Jiwasraya, dikelola Taspen, karena dikelola ugal-ugalan maka investasinya kan jeblok," kata Amri kepada awak media, Jumat (3/2) lalu.Tapi karena kerigidan itu, BPKH tidak leluasa menginvestasikan dana haji. Menurut Amri, aturan hanya mengizinkan investasi langsung sebesar 20 persen. Menurutnya, ini tidak masuk akal jika dibarengi dengan klausul tanggung renteng yang tertuang dalam Pasal 53 UU 34/2014."Anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian atas penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji secara keseluruhan yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian dalam pengelolaanya," demikian bunyi Pasal 53 (1) UU 34/2014.Ia menambahkan hal ini akan membuat lembaga keuangan publik dalam kondisi dilema. Di satu sisi mereka dituntut mendapatkan keuntungan besar supaya dana haji yang dikelola bisa memberikan manfaat besar ke jemaah. Di satu sisi lain, BPKH harus berhati-hati supaya investasi yang dilakukan tidak malah buntung. "Aturan proses pengambilan keputusan BPKH harus mendapat approval dari Dewas. Beda dengan BPJS, BPJS itu direct investment yang kategori high risk hanya (diperbolehkan) 5 persen karena risikonya lumayan besar," ungkapnya.(red.la)
0 Komentar