Wates, Kediri, soearatimoer.net – Pengisian perangkat desa untuk posisi Kepala Dusun Japang di Desa Duwet, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, menuai kontroversi dan menjadi sorotan publik. Pasalnya, dalam proses pengisian jabatan tersebut, sejumlah pihak yang ingin menduduki posisi strategis tersebut harus mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar, mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Tindakan ini diduga merupakan praktik pungutan liar (pungli) yang melibatkan sejumlah pihak di tingkat desa.
Menurut informasi yang dihimpun, proses seleksi untuk posisi Kepala Dusun Japang berlangsung dengan cara yang tidak transparan, dengan calon yang lolos seleksi harus memenuhi kewajiban berupa pembayaran sejumlah uang. Beberapa warga yang enggan disebutkan namanya menyatakan bahwa mereka diminta untuk memberikan sejumlah uang kepada panitia seleksi atau oknum tertentu yang terlibat dalam proses tersebut. Pembayaran tersebut dikatakan sebagai ‘biaya administrasi’ atau ‘sumbangan sukarela’, meskipun tidak ada dasar hukum yang jelas untuk memungut biaya tersebut.
Kepala Desa Duwet, yang namanya juga tidak ingin dipublikasikan, sempat memberikan klarifikasi mengenai hal tersebut. Namun, menurutnya, pengisian perangkat desa memang melibatkan sejumlah biaya, namun hanya bersifat administratif dan tidak bersifat pungutan liar. “Semua biaya yang dikeluarkan, menurut saya, adalah untuk kepentingan administrasi dan bukan untuk keuntungan pribadi. Semua telah melalui mekanisme yang sah,” ujarnya dalam wawancara singkat.
Namun, banyak warga yang merasa keberatan dengan hal ini, karena mereka merasa bahwa pengisian posisi penting tersebut seharusnya tidak melibatkan uang sebesarnya. Mereka merasa bahwa tindakan tersebut telah mencederai prinsip keadilan dan transparansi yang seharusnya ada dalam setiap proses pengisian perangkat desa.
Pemerintah Kabupaten Kediri melalui Inspektorat segera turun tangan untuk menyelidiki masalah ini. Kepala Inspektorat Kabupaten Kediri, Agus Pramono, menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan audit menyeluruh terhadap proses pengisian perangkat desa tersebut. “Jika ada bukti adanya pungutan liar atau penyalahgunaan wewenang, kami tidak akan ragu untuk mengambil tindakan tegas,” ujarnya.
Dalam hal ini, undang-undang yang berlaku menjadi rujukan dalam menanggapi dugaan pungutan liar yang terjadi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa pengisian perangkat desa harus dilakukan dengan mekanisme yang jelas, terbuka, dan tidak melibatkan pungutan uang yang tidak sah. Pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa perangkat desa diangkat dan diberhentikan oleh kepala desa berdasarkan kebutuhan dan kelayakan sesuai ketentuan yang berlaku, serta dilakukan melalui seleksi yang transparan. Selain itu, Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 67 Tahun 2017 tentang Pengisian Perangkat Desa menegaskan bahwa tidak boleh ada biaya yang dibebankan kepada calon perangkat desa dalam proses seleksi.
Dugaan pungli ini juga bertentangan dengan Pasal 12 Huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana.(RED.W)
0 Komentar