Jakarta — Krisis politik di Madagaskar mencapai titik puncak setelah Presiden Andry Rajoelina dilaporkan meninggalkan negaranya menyusul pembelotan militer dan gelombang protes besar-besaran yang didominasi kaum muda. Peristiwa ini menjadi kejatuhan pemerintahan kedua dalam waktu sebulan di tengah meningkatnya gejolak global yang melibatkan generasi muda atau Gen Z.
Seorang tokoh oposisi, Siteny Randrianasoloniaiko, bersama sumber militer dan diplomat asing, mengonfirmasi bahwa Rajoelina telah meninggalkan ibu kota Antananarivo. “Kami telah berkomunikasi dengan staf kepresidenan, dan mereka membenarkan bahwa Presiden tidak lagi berada di negara ini,” ujar Randrianasoloniaiko, Senin (13/10).
Dalam pidato yang disiarkan melalui akun media sosial, Rajoelina mengaku berada di “lokasi aman” demi keselamatannya. Ia menegaskan tidak akan menyerah, seraya menuduh adanya “upaya kudeta” terhadap pemerintahannya.
Pelarian Diduga Diperantarai Prancis
Laporan dari sejumlah media internasional menyebut pelarian Rajoelina difasilitasi oleh militer Prancis. Menurut sumber internal, pesawat militer Prancis jenis Casa menjemput Rajoelina dari pulau Sainte Marie pada Minggu malam, setelah ia dipindahkan dari helikopter pengawalnya.
Media Prancis menyebut langkah itu merupakan hasil kesepakatan darurat antara Rajoelina dan Presiden Emmanuel Macron. Meski demikian, Macron belum mengonfirmasi kabar tersebut dan hanya menegaskan bahwa “tatanan konstitusional di Madagaskar harus dijaga.” Ia juga memperingatkan agar “ketidakpuasan generasi muda tidak dimanfaatkan oleh faksi bersenjata.”
Sebelum melarikan diri, Rajoelina sempat menandatangani surat pengampunan bagi sejumlah tahanan politik, termasuk dua warga Prancis yang sempat dituduh terlibat dalam upaya kudeta pada 2021. Dokumen pembebasan tersebut dikonfirmasi oleh sumber di istana kepresidenan.
Gelombang Protes Gen Z Guncang Kekuasaan
Protes besar-besaran di Madagaskar dimulai pada akhir September, dipicu oleh krisis air, listrik, dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Namun dalam waktu singkat, demonstrasi itu berubah menjadi gerakan nasional menentang korupsi, lemahnya pelayanan publik, dan gaya kepemimpinan yang dianggap otoriter.
Ratusan ribu warga, sebagian besar dari generasi muda, turun ke jalan dengan slogan “Madagasikara vaovao” — yang berarti Madagaskar baru. Aksi itu mendapat dukungan luas dari masyarakat dan tokoh sipil.
“Ini bukan hanya tentang listrik atau air, ini tentang masa depan kami,” kata seorang pengunjuk rasa di Antananarivo.
Militer Berbalik dan Pemerintahan Runtuh
Situasi politik makin memburuk setelah pasukan elit CAPSAT, unit yang dulu membantu Rajoelina merebut kekuasaan pada 2009, memutuskan tidak lagi mendukungnya. CAPSAT bahkan mengawal demonstran dan mengumumkan pembentukan komando baru.
Tak lama setelah itu, pasukan gendarmerie bergabung dengan pengunjuk rasa dan mengganti pimpinan mereka. Langkah tersebut mempercepat kejatuhan pemerintahan dan menimbulkan kekosongan kekuasaan.
Senat Madagaskar pun ikut bergejolak. Presiden Senat digantikan oleh Jean André Ndremanjary, yang berdasarkan konstitusi kini berstatus sebagai presiden sementara hingga pemilihan baru diselenggarakan.
Kejatuhan pemerintahan Rajoelina memperlihatkan semakin kuatnya tekanan dari generasi muda Afrika terhadap elit politik lama yang dianggap gagal membawa perubahan. Madagaskar kini menghadapi masa transisi penuh ketidakpastian di bawah pengawasan komunitas internasional.
(Red.FR)
0 Komentar