Ngaji Reco: Menggali Nilai Budaya dari Arca dan Kisah Panji

 

 KEDIRI, soearatimoer.net– Kisah Panji, salah satu simbol budaya yang melekat erat dengan identitas masyarakat Kediri, menjadi salah satu topik yang dibahas dalam acara Ngaji Reco yang digelar baru-baru ini. Diskusi ini tak hanya membedah makna spiritual dan estetika dari arca dan relief, tetapi juga menggugah kesadaran kolektif akan pentingnya pelestarian benda cagar budaya.

Beberapa relief yang menggambarkan kisah Panji, ditemukan di berbagai situs candi di Jawa Timur. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya pengaruh cerita Panji dalam membentuk lanskap kultural masyarakat Jawa, khususnya Kediri.

Salah satu peserta muda, Heru, mengaku terkesan dengan pengalaman belajar langsung dari para ahli. “Saya suka sejarah sejak SMP, tapi baru kali ini ikut acara seperti ini. Ternyata arca itu punya banyak makna, tidak sekadar batu berbentuk manusia atau hewan. Ini membuka wawasan saya,” ungkapnya.

Arca Tak Sekadar Artefak, tapi Cermin Budaya

Dalam sesi diskusi, terungkap bahwa banyak arca peninggalan sejarah telah mengalami kerusakan, hilang, bahkan ironisnya digunakan sebagai pondasi rumah atau kandang ternak. Situasi ini memperkuat urgensi pelestarian, bukan hanya pada wujud fisik, tetapi juga pada nilai dan pemahaman terhadapnya.

Pembicara utama, Nugroho, menyoroti peran penting relief sebagai medium naratif yang menggambarkan kehidupan masa lalu, termasuk kisah legenda seperti Panji. Ia menjelaskan bahwa membaca relief tidak bisa disamakan dengan membaca buku.

“Relief itu tidak dapat dibaca dari kiri ke kanan seperti buku biasa. Ceritanya sering kali tidak utuh, melompat-lompat, bahkan tidak teratur,” jelas Nugroho.

Fragmen Kisah Panji: Duka, Pertapaan, dan Simbolisme

Nugroho menambahkan, banyak relief Panji yang hanya berupa fragmen-fragmen emosional, seperti adegan Panji bersedih karena berpisah dengan Dewi Sekartaji, atau Panji yang sedang bertapa. Karena tidak utuh, interpretasi harus dilakukan berdasarkan petunjuk visual yang tersisa.

“Banyak relief menggambarkan suasana emosional Panji—kesedihan, kerinduan, kontemplasi—namun konteks lengkapnya sering hilang. Di sinilah pentingnya pendekatan interpretatif dan kajian mendalam,” lanjutnya.

Perlunya Penelitian dan Kesadaran Budaya

Nugroho juga menekankan pentingnya penelitian lanjutan terhadap relief yang belum teridentifikasi. Ia menyarankan agar dilakukan pengujian laboratorium untuk menganalisis komposisi mineral batu, guna mengetahui usia dan asal arca.

"Jika kita mengetahui lokasi penemuannya, komposisi batu, dan konteks budayanya, kita bisa lebih memahami fungsi arca tersebut. Ini sangat penting untuk menyusun narasi sejarah kita," ujarnya.

Acara Ngaji Reco ini menjadi ajakan kepada masyarakat untuk tidak hanya melihat arca dan relief sebagai artefak sejarah, tetapi sebagai cermin nilai-nilai spiritual, estetika, dan kearifan lokal. Pelestarian, menurut Nugroho, bukan hanya menjaga bentuk fisiknya, tetapi juga menjaga kesadaran budaya agar tidak tergerus oleh waktu. (red:a)

 KEDIRI, – Kisah Panji, salah satu simbol budaya yang melekat erat dengan identitas masyarakat Kediri, menjadi salah satu topik yang dibahas dalam acara Ngaji Reco yang digelar baru-baru ini. Diskusi ini tak hanya membedah makna spiritual dan estetika dari arca dan relief, tetapi juga menggugah kesadaran kolektif akan pentingnya pelestarian benda cagar budaya.

Beberapa relief yang menggambarkan kisah Panji, ditemukan di berbagai situs candi di Jawa Timur. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya pengaruh cerita Panji dalam membentuk lanskap kultural masyarakat Jawa, khususnya Kediri.

Salah satu peserta muda, Heru, mengaku terkesan dengan pengalaman belajar langsung dari para ahli. “Saya suka sejarah sejak SMP, tapi baru kali ini ikut acara seperti ini. Ternyata arca itu punya banyak makna, tidak sekadar batu berbentuk manusia atau hewan. Ini membuka wawasan saya,” ungkapnya.

Arca Tak Sekadar Artefak, tapi Cermin Budaya

Dalam sesi diskusi, terungkap bahwa banyak arca peninggalan sejarah telah mengalami kerusakan, hilang, bahkan ironisnya digunakan sebagai pondasi rumah atau kandang ternak. Situasi ini memperkuat urgensi pelestarian, bukan hanya pada wujud fisik, tetapi juga pada nilai dan pemahaman terhadapnya.

Pembicara utama, Nugroho, menyoroti peran penting relief sebagai medium naratif yang menggambarkan kehidupan masa lalu, termasuk kisah legenda seperti Panji. Ia menjelaskan bahwa membaca relief tidak bisa disamakan dengan membaca buku.

“Relief itu tidak dapat dibaca dari kiri ke kanan seperti buku biasa. Ceritanya sering kali tidak utuh, melompat-lompat, bahkan tidak teratur,” jelas Nugroho.

Fragmen Kisah Panji: Duka, Pertapaan, dan Simbolisme

Nugroho menambahkan, banyak relief Panji yang hanya berupa fragmen-fragmen emosional, seperti adegan Panji bersedih karena berpisah dengan Dewi Sekartaji, atau Panji yang sedang bertapa. Karena tidak utuh, interpretasi harus dilakukan berdasarkan petunjuk visual yang tersisa.

“Banyak relief menggambarkan suasana emosional Panji—kesedihan, kerinduan, kontemplasi—namun konteks lengkapnya sering hilang. Di sinilah pentingnya pendekatan interpretatif dan kajian mendalam,” lanjutnya.

Perlunya Penelitian dan Kesadaran Budaya

Nugroho juga menekankan pentingnya penelitian lanjutan terhadap relief yang belum teridentifikasi. Ia menyarankan agar dilakukan pengujian laboratorium untuk menganalisis komposisi mineral batu, guna mengetahui usia dan asal arca.

"Jika kita mengetahui lokasi penemuannya, komposisi batu, dan konteks budayanya, kita bisa lebih memahami fungsi arca tersebut. Ini sangat penting untuk menyusun narasi sejarah kita," ujarnya.

Acara Ngaji Reco ini menjadi ajakan kepada masyarakat untuk tidak hanya melihat arca dan relief sebagai artefak sejarah, tetapi sebagai cermin nilai-nilai spiritual, estetika, dan kearifan lokal. Pelestarian, menurut Nugroho, bukan hanya menjaga bentuk fisiknya, tetapi juga menjaga kesadaran budaya agar tidak tergerus oleh waktu. (red:a)

Posting Komentar

0 Komentar