Kediri, soearatimoer.net – Malam itu, mereka menahan senyum, bahkan menahan lapar, demi satu hal: tampil sempurna sebagai pembuka di Apeksi Nite Carnival 2025. Sebanyak 100 pelajar dari berbagai sekolah di Kota Kediri sukses memukau ribuan penonton lewat pertunjukan tari bertajuk Kidung Smara Yatra, yang mengangkat kisah cinta legendaris Panji dan Sekartaji.
Pukul sudah menunjukkan 20.30 WIB saat parade dimulai dari Jalan Stasiun. Kontingen tuan rumah, Kota Kediri, berada di urutan paling depan. Separuh dari mereka membawa alat musik perkusi, separuh lagi memainkan properti tari. Tapi yang paling mencuri perhatian adalah 50 penari utama dengan riasan wajah menyerupai topeng emas khas Surakarta. Mereka menari anggun dengan selendang tersimpul di pinggang, memukau penonton yang memenuhi tepi jalan.
Pertunjukan ini menjadi bagian dari puncak acara Musyawarah Komisariat Wilayah IV ke-13 Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi). Tak main-main, 100 pelajar yang terlibat berasal dari SMAN 1 Kediri, SMAN 2 Kediri, SMAN 2 Pare, SMAN 5 Taruna Brawijaya, SMAN 6 Kediri, SMAN 7 Kediri, SMAN 8 Kediri, SMKN 2 Kediri, dan SMK Santo Augustinus.
Pengarah seni Aulia Renata menjelaskan bahwa pemilihan konsep rias topeng dipilih untuk memperkuat alur cerita yang dibawakan. “Kami tidak menggunakan tata rias cantik atau korektif. Tapi kami mengadaptasi bentuk topeng Panji dan Sekartaji, supaya lebih kuat secara visual,” tuturnya.
Tak hanya soal estetika, riasan topeng itu juga membawa tantangan tersendiri. Proses makeup dimulai sejak pukul 11.00 siang, meskipun pertunjukan baru digelar pukul 20.00. Setelah wajah dirias, para penari tak boleh tertawa atau tersenyum agar makeup tidak retak. Bahkan mereka tidak diperbolehkan makan, hanya minum air. “Jadi terakhir makan ya sebelum jam 11.00 itu,” kata Renata.
Yang menarik, di tengah pertunjukan berdurasi tiga menit itu, ada satu momen teatrikal ketika seluruh penari berhenti bergerak, memberi ruang kepada Panji dan Sekartaji yang akhirnya bertemu dan menari hanya berdua. “Itu momen paling sakral dalam pementasan ini,” imbuh Renata.
Tak hanya menari, unsur musik juga menjadi perhatian. Sebanyak 30 pemain perkusi menampilkan musik secara live, berpadu dengan musik digital. Hal ini menciptakan harmoni kuat antara gerakan dan irama.
Menariknya lagi, seluruh narasi pertunjukan dibawakan dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa. “Kami ingin lebih inklusif karena tidak semua tamu dari daerah Jawa. Ini juga cara kami mendekatkan cerita Panji kepada generasi muda,” ucapnya.
Persiapan pertunjukan kolosal ini terbilang singkat. Latihan intensif baru dilakukan tujuh hari menjelang acara, bahkan hanya sempat tiga kali latihan lengkap karena berbarengan dengan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS). Namun semua kekurangan itu terbayar lunas malam itu. Di hadapan 13 wali kota, delegasi Apeksi, Direktur Eksekutif Apeksi, hingga Wakil Menteri Perdagangan RI Dyah Roro Esti Widya Putri, para pelajar itu tampil maksimal.
Sebuah pertunjukan yang bukan hanya soal seni, tetapi juga dedikasi, semangat kolektif, dan pengorbanan demi kebanggaan kota sendiri. (RED.A)
0 Komentar